Alamat Tahfizh
Jorong Bingkudu, Nagari Candang Koto Lawah, Kec. Candung, Kab. Agam.
(oleh Dr. Erianto Nazar/ Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta/ Koordinator Kejati Kalteng)
Pemberitaan media seperti detik.com tanggal 27 Juli 2021 terkait hibah dari keluarga mendiang pengusaha Akidi Tio melalui anaknya Heriyanti sebesar 2 triliun rupiah yang diserahkan secara simbolis kepada Kapolda disaksikan Gubernur dan Dandrem Garuda Dempo Sumatera Selatan untuk membantu penanggulangan warga terkena dampak PPKM karena COVID-19 berujung pada penetapan tersangka pemberi hibah melanggar Pasal 15 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana karena telah membuat kegaduhan. Meskipun berselang satu jam kemudian penetapan tersangka sebagaimana disampaikan Direktur Intelkan Kepolisian Daerah Sumatera Selatan dibantah oleh kabid Humas Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Kombes Supriyadi sebagaimana dikutip ayo jakarta.com, namun hal ini sudah terlanjur menarik perhatian publik dan media. Munculnya kegaduhan bila merujuk pada penjelasan Prof dr Hardi Darmawan selaku dokter keluarga, pemberian merupakan amanah dari mendiang Akidi Tio yang dikenal sebagai pengusaha di bidang usaha perkebunan dan bangunan di Aceh yang prihatin melihat banyak rekan mereka meninggal tak tertolong karena fasilitas terbatas dan penuh namun bantuan belum dikirimkan karena membutuhkan proses panjang mengingat nilainya besar harus melalui pengawasan Otoritas Jasa Keuangan sementara Dahlan Iskan dalam tulisannya Perjuangan 2T dikutip Pojoksatu.id menguraikan uang tersebut masih di bank Singapura dimana sebelum mau disumbangkan sudah diupayakan untuk dicairkan tetapi belum berhasil. Terlepas fakta yang sebenarnya tentu permasalahan hibah ini menarik untuk diulas dari sisi hukum.
Pengelolaah Hibah Menurut Hukum Positif Indonesia
Diantara ketentuan perundang-undangan terkait pengelolaan dana hibah adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 191/PMK.05/2011 Tentang Mekanisme Pengelolaan Hibah tanggal 30 November 2011 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri Dan Penerimaan Hibah yang mengatur terkait tata cara pengelolaan dana hibah terencana dan pengesahannya. Dalam Peraturan Menteri Keuangan dijelaskan adanya tahapan pengajuan permohonan nomor hibah, persetujuan pembukaan rekening hibah, penyesuaian pagu hibah dalam DIPA dan pengesahan hibah oleh Bendahara Umum Negara atau kuasanya untuk hibah dalam bentuk uang langsung. Sementara mekanisme pelaksanaan dan pelaporan untuk hibah berupa barang/ jasa/ surat berharga dilakukan melalui pengesahan dari Direktorat Jendral Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan serta pencatatan oleh Bendahara Umum Negara atau kuasanya. Sebagai sebuah penguatan berlakunya aturan hibah maka Peraturan Menteri Keuangan mengatur tentang sanksi administrasi kepada lembaga yang menerima hibah dalam bentuk uang, barang, jasa dan surat berharga yang tidak mengajukan register dan/atau pengesahan. Peraturan Menteri Keuangan juga menegaskan Hibah yang diterima langsung oleh lembaga dan tidak dikelola sesuai Peraturan Menteri Keuangan ini menjadi tanggung jawab penerima hibah dan bila terjadi Ineligible (pengeluaran tidak sesuai ketentuan) maka negara tidak dapat dituntut oleh pemberi hibah untuk menanggungnya.
Sementara dalam Pasal 1682-1687 Kitap Undang Undang Hukum Perdata mengatur keabsahan cara mengibahkan sesuatu harus ada akta notaris yang minutnya disimpan sendiri oleh notaris bersangkutan disamping itu juga harus ada kata kata tegas penghibahan diterima oleh orang yang diberi hibah atau oleh wakilnya. Hak milik atas barang-barang yang dihibahkan meskipun diterima dengan sah, tidak beralih pada orang yang diberi hibah, sebelum diserahkan dengan cara berupa penyerahan yang nyata oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci bangunan tempat barang-barang itu berada untuk barang berwujud maupun dengan akta otentik yang tidak berwujud. Hibah berbeda dengan hadiah yang cukup penyerahan dari tengan ke tangan saja tanpa harus ada akta otentik.
Hibah Menurut Hukum Islam
Hukum terkait Hibah untuk warga negara beragama islam juga terdapat aturan khusus dimana hibah merupakan sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka menanamkan kebajikan antara sesama manusia. Ulama fiqih sepakat bahwa hukum hibah adalah Sunnah berdasarkan firman Allah SWT tertuang dalam surat An-nisa ayat 4 yang artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”. Hibah disyariatkan juga dengan alasan karena mendekatkan hati dan menguatkan tali cinta antara manusia, sebagaimana disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : تَهَادُوْا تَحَابَوْا Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad]. semua ketentuan hibah dalam islam sudah susun dalam sebuah kompilasi hukum islam yang menjadi pedoman dalam bagi penegak hukum di peradilan agama menyelesaiakn masalah hibah.
Terkait dengan cara memberikan hibah dalam islam dikenal dengan rukun dan syarat hibah yaitu: Pertama pemberi Hibah yang sudah berakal sempurna, Baligh dan Cerdas yang menguasai sepenuhnya harta yang dihibahkan. Kedua penerima Hibah, mestilah mempunyai keupayaan untuk memiliki harta sama ada mukalaf atau bukan mukalaf. Sekiranya penerima hibah adalah bukan mukalaf seperti belum akil baligh atau kurang upaya, maka hibah boleh diberikan kepada walinya atau pemegang amanah. Ketiga, Harta yang hendak dihibahkan itu mestilah harta yang halal, bernilai di sisi syarak, di bawah pemilikan pemberi hibah, mampu diserahkan kepada penerima hibah dan wujud ketika harta berkenaan dihibahkan. Keempat Lafaz ijab dan kabul merupakan lafaz atau perbuatan yang membawa makna pemberian dan penerimaan hibah
Nasib Cerita Hibah 2 Triliun
Terlepas dari fakta sebenarnya yang masih didalami Penyidik Kpolisian Daerah Sumatera Selatan, penetapan tersangka pemberi hibah memang akan terus menjadi perhatian karena dianggap telah membuat kegaduhan berupa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat sebagaimana rumusan Pasal 15 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana yang disangkakan. Meskipun pemberlakuan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 masih menjadi perdebatan diantara ahli hukum terkait dapat diberlakukan atau tidak mengingat undang undang dibuat bukan oleh Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 melainkan dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat yang bersifat sementara namun yang pasti peristiwa tersebut sudah menimbulkan kegaduhan,banyak pejabat pemerintah yang merasa tertipu bahkan jadi olok-olokan di media sosial sehingga kita sama sama menunggu perkembangan penyidikan berikutnya. Dari kejadian hibah 2 triliun ini setidaknya kita bisa melihat dan menilai apakah pemberian hibah yang diterima oleh pemerintah dalam hal ini Kepolisian Daerah selaku penegak hukum disaksikan oleh Gubernur dan Danrem Garuda Dempo Sumatera Selatan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penerimaan hibah atau belum. Disamping itu terlihat betapa pentingnya regulasi penerimaan hibah oleh pemerintah yang telah dibuat termasuk regulasi hibah khusus berlaku untuk yang beragama islam untuk dipedomani sehingga dapat mengantisipasi kegaduhan atau adanya manipulasi dalam pemberian hibah sambil berharap proses hibah 2 triliun tersebut benar benar terealisasi sehingga niat baik pemberi hibah dan mamfaat yang diterima masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi wabah Covid 19 dapat terwujud. Semoga jika benar ada niat baik tidak berujung kepada pidana.